Perbedaan Mathla (Tempat Melihat Hilal) Dan Pengaruhnya Pada Hukum Wajib Puasa (1 Ramadhan) Dan Hari Raya (1 Syawwal)
RU’-YATUL HILAL DAN PENETAPAN HARI PUASA DAN HARI RAYA
Pembahasan 3
PERBEDAAN MATHLA’ (TEMPAT MELIHAT HILAL) DAN PENGARUHNYA PADA HUKUM WAJIB PUASA (1 RAMADHAN) DAN HARI RAYA (1 SYAWWAL)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum wajibnya puasa jika hilal Ramadhan sudah terlihat di suatu negara, apakah dengan demikian semua negara berkewajiban untuk mengerjakan puasa atau tidak, ataukah masih-masing negara harus melakukan ru’-yah tersendiri? Demikan pula dengan ru’-yatul hilal untuk bulan Syawwal.
Kesimpulan para ulama mengenai masalah ini terbagi men-jadi empat pendapat, yaitu:
Pendapat pertama, bahwa ru’-yatul hilal yang diperoleh di suatu negara kaum muslimin mengharuskan bagi seluruh negara untuk melaksanakan puasa. Demikian yang menjadi pendapat Jumhur Ulama.
Pendapat kedua, bahwa setiap negara bersandar kepada ru’-yatul hilal mereka masing-masing dan tidak harus bersandar pada (ru’-yah) penglihatan negara lain. Ini adalah pendapat dari pengikut madzhab Syafi’i dan Hanbali.
Pendapat ketiga, jika negara-negara itu berdekatan, maka ru’-yatul hilal oleh suatu negara mengharuskan bagi negara lain-nya yang berdekatan dengannya untuk menjalankan puasa. Jika negara itu berjauhan, maka tidak ada kewajiban bagi mereka. Demikian menurut pendapat sebagian pengikut madzhab Syafi’i dan juga pendapat yang terdapat di kalangan para penganut madz-hab Hanbali. Pendapat tersebut dinilai rajih (kuat) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hanya saja beliau membatasinya dengan sampainya berita itu (ru’-yatul hilal) kepada mereka.
Pendapat keempat, jika ru’-yatul hilal telah ditetapkan oleh seorang Imam (pemimpin), maka ummat manusia secara keseluruhan harus mengerjakan puasa, baik negara-negara itu berdekatan maupun berjauhan. Hal tersebut karena negara-negara itu pada hakikatnya adalah seperti satu negara dan hukumnya berlaku untuk keseluruhan.
Dengan perhatian yang mendalam, kita dapat mengetahui bahwa pendapat keempat tidak berbeda dengan pendapat ketiga. Dan inilah yang kami (penulis) nilai rajih (kuat) dalam masalah ini, yaitu jika beberapa negara mempunyai tempat melihat hilal (mathla’) yang sama dan sebagian di antaranya berdekatan dengan yang lainnya, atau ru’-yah itu telah ditetapkan oleh seorang Imam, maka hal tersebut mengharuskan seluruh negara untuk berpuasa.
Orang-orang yang berpegang pada pendapat pertama ber-dalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Shahiihnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ.”
‘Berpuasalah kalian dengan melihat hilal (bulan Ramadhan) dan berbukalah kalian dengan melihatnya.’” [1]
Mereka mengatakan bahwa khithab hadits ini bersifat umum, yang mencakup seluruh kaum muslimin dan tidak hanya tertuju kepada orang yang memiliki hak untuk melakukan ru’-yatul hilal saja, di mana puasa Ramadhan tergantung pada kemutlakan ru’-yah. Oleh karena itu, jika suatu kaum telah melihatnya, maka perintah berpuasa itu tertuju kepada kaum muslimin secara keseluruhan. Berdasarkan hal tersebut, jika orang-orang di wilayah timur telah melihat hilal, maka orang-orang di wilayah barat pun harus ikut berpuasa karenanya.
Sedangkan dalil yang digunakan oleh orang-orang yang berpegang pada pendapat kedua adalah hadits Kuraib, bahwa Ummul Fadhl binti al-Harits pernah mengutusnya kepada Mu’awiyah di negeri Syam. Dia berkata, “Kemudian aku mendatangi Syam dan segera melaksanakan keperluan Ummul Fadhl. Lalu bulan Ramadhan pun dimulai, dan aku berada di Syam, maka kami sempat melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah pada akhir bulan, maka Ibnu ‘Abbas bertanya kepadaku, selanjutnya dia bertanya tentang hilal seraya berkata, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku pun menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya, ‘Engkau melihatnya sendiri?’ Aku menjawab, ‘Ya, dan orang-orang pun melihatnya. Mereka berpuasa dan Mu‘awiyah juga berpuasa.’ Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu.’ Sehingga kami masih terus menjalankan puasa hingga menggenapkannya menjadi 30 hari atau kami melihatnya (hilal bulan Syawwal).’ Kemudian aku katakan, ‘Apa-kah tidak cukup bagi kita dengan ru’-yah Mu’awiyah dan puasa?’ Dia menjawab, ‘Tidak. beginilah yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita.’”[2]
Ini adalah nash yang secara lahiriah menunjukkan bahwa setiap negara bersandar pada ru’-yah mereka masing-masing. Orang-orang yang berpegang pada pendapat ketiga dan keempat berdalil dengan kumpulan hadits yang dijadikan dalil oleh para pemegang pendapat pertama dan pendapat kedua.
Hanya saja, para pemegang pendapat ketiga masih berbeda pendapat mengenai penetapan jauh dan dekatnya jarak antar negara-negara tersebut, yaitu dari beberapa pandangan:
Pertama, sebagian mereka mengatakan, untuk hal itu kem-bali lagi kepada perbedaan tempat ru’-yatul hilal (mathla’).
Kedua, bahwa masalah tersebut kembali lagi kepada jarak yang membolehkan qashar shalat, tempat yang jaraknya di bawah itu termasuk dekat. Sedangkan yang di atas itu adalah ter-masuk jauh.
Ketiga, dan mereka mengatakan bahwa hal itu berbeda de-ngan perbedaan wilayah, di mana setiap wilayah memiliki ru’-yah sendiri-sendiri.
Keempat, sebagian mereka mengatakan, hal itu kembali lagi kepada sampainya berita mengenai hal tersebut. Bagi orang yang dimungkinkan untuk mendapatkan berita mengenai hal itu sebe-lum siang, maka mereka harus berpuasa.
Barangkali pendapat yang paling dekat (kepada kebenaran) adalah pendapat ketiga, dan hal itu diperkuat oleh hadits Kuraib.
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “…Yang benar menurut kalangan kami bahwa ru’-yah itu tidak berlaku umum bagi seluruh manusia, tetapi khusus bagi orang-orang yang berada di tempat yang jaraknya tidak dibolehkan qashar shalat. Ada yang mengatakan, jika tempat melihat ru’-yah itu sama, maka mereka harus ikut menjalankan puasa. Ada juga yang mengatakan, jika satu wilayah, maka mereka harus berpuasa, dan jika tidak maka tidak wajib mengerjakan puasa pada hari yang sama.
Sebagian rekan kami mengatakan, ru’-yah tersebut berlaku umum di seluruh belahan bumi ini.”[3]
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “…Para ulama telah berbeda pendapat mengenai hal tersebut, yakni menjadi beberapa pendapat:
Pertama, bagi masing-masing penduduk negeri bersandar pada ru’-yah mereka sendiri.
Kedua, lawan dari pendapat pertama, yaitu jika ru’-yah itu telah terlihat di suatu negara, maka seluruh penduduk negara yang lain juga harus mengikutinya.
Ketiga, ditetapkan di hadapan Imam (khilafah) yang paling agung, setelah itu semua orang harus berpegang pada ketetapan itu, karena semua negara pada hakikatnya seperti satu kesatuan negara, di mana hukumnya berlaku bagi semua orang.
Keempat, jika beberapa negara memiliki jarak yang berdekatan, maka hukum yang berlaku adalah satu. Dan jika saling berjauhan maka terdapat dua pendapat…”[4]
Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “…Mereka berbeda pendapat, jika suatu negara dikabarkan mengenai ru’-yah yang dilakukan di negara lain, maka perlu dipertimbangkan jarak dekat atau jauhnya, jika dekat maka hukum yang berlaku adalah satu. Dan jika jauh, maka penduduk masing-masing negara tersebut bersandar pada ru’-yah mereka masing-masing.”[5]
[Disalin dari buku “Meraih Puasa Sempurna”, Diterjemahkan dari kitab “Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab”, karya Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir].
______
Footnote
[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (III/122))
[2] Diriwayatkan oleh Muslim. (Shahiih Muslim (III/126))
[3] Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (VII/197).
[4] Fat-hul Baari (IV/123).
[5] Al-Jaami’ li Ahkaamil Qur-aan karya al-Qurthubi (II/295).